Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

BERBAGI TENTANG TRITUNGGAL MENURUT PERSPEKTIF REFORMED


Memahami Allah Tritunggal merupakan suatu kegiatan yang mengandung berkat dan sekaligus resiko. Sesungguhnya kita sedang berurusan dengan sebuah misteri yang sangat agung. Tanpa anugerah Tuhan, tanpa kerendahan hati, mustahil untuk memahami pengajaran yang penting ini. Maka, ketika kita berbicara tentang Tritunggal, kita harus sadar bahwa Dia yang kita bicarakan sedang berada di hadapan kita, atau lebih tepat, kita di hadapan-Nya.
Teologi Reformed menerima rumusan seperti yang sudah diwariskan oleh Bapa-bapa Gereja dan konsili-konsili ekumenis, sebagaimana juga diajarkan oleh Alkitab. Kita percaya Allah Tritunggal itu satu dan tiga. Jadi, ada aspek ke-satu-an, dan ada aspek ke-tiga-an. Jika kita mengikuti formulasi yang sudah dirumuskan, maka kita dapat mengatakan bahwa pandangan Gereja (khususnya Gereja Latin) menerima rumusan satu substansi/esensi, tiga Pribadi. Jadi Allah Tritunggal adalah satu dalam aspek tertentu, dan tiga dalam aspek yang lain. Perhatikan di sini bahwa ajaran ini tidak mengatakan bahwa Allah Tritunggal itu satu sekaligus tiga menurut aspek yang sama. Adalah hal yang salah jika kita mengatakan Tritunggal itu satu esensi dan tiga esensi, atau, satu Pribadi dan tiga Pribadi. Sebagaimana halnya juga salah ketika kita mengatakan bahwa Kristus itu adalah 1 Pribadi dan 2 Pribadi, atau bahwa Kristus memiliki 1 natur dan memiliki 2 natur. Pandangan seperti ini tidak pernah diajarkan dalam konsili manapun, atau dalam konteks tradisi Reformed, tidak pernah diajarkan dalam katekismus atau pengakuan iman Reformed yang manapun. Pandangan seperti itu bukan saja membingungkan, namun juga sekaligus mengacaukan pemahaman kita tentang Tritunggal atau tentang Kristus.
Apakah yang termasuk dalam kesatuan substansi/esensi? Apa yang dimaksud dengan istilah esensi/substansi? Substansi artinya adalah properti/atribut/sifat khusus yang dimiliki oleh suatu hal, yang olehnya (oleh properti khusus itu), hal tersebut dibedakan dari hal yang lain. Berdasarkan definisi ini, substansi ilahi itu seperti misalnya adalah kemahatahuan (tidak ada yang mahatahu selain Allah), kemahahadiran (tidak ada yang mahahadir selain Allah), kemahakuasaan (tidak ada yang mahakuasa selain Allah), kekekalan, yaitu tidak memiliki awal dan akhir (tidak ada yang kekal selain Allah). Selain atribut-atribut kemahaan, kita juga dapat mengatakan bahwa pikiran ilahi dan kehendak ilahi juga merupakan substansi/esensi ilahi (hanya Allah saja yang memiliki pikiran ilahi dan kehendak ilahi. Semua ciptaan yang lain tidak memiliki properti khusus ini).
Ketika kita membicarakan ke-satu-an Tritunggal, kita tidak dapat mengacaukannya dengan ketigaan-Nya. Allah itu satu dalam esensi dan substansi-Nya. Tidak dapat dikatakan Ia sekaligus tiga dalam esensi dan substansi-Nya. Allah itu satu pikiran dan kehendak-Nya, tidak dapat dikatakan Ia sekaligus tiga pikiran dan kehendak-Nya. Sama halnya kita tidak dapat mengatakan bahwa Allah itu tiga dalam Pribadi-Nya, sekaligus satu dalam Pribadi-Nya. Ketika membicarakan unity, kita membicarakan kesamaan, bukan distingsi. Misal: hanya ada satu kemahahadiran, dan kemahahadiran ilahi ini dimiliki secara sempurna dan seutuhnya oleh ketiga Pribadi Tritunggal. Hanya ada satu pikiran dan kehendak ilahi, dan satu pikiran dan kehendak ilahi ini dimiliki secara sempurna dan seutuhnya oleh ketiga Pribadi. Tidak ada perbedaan dalam kemahakuasaan, kemahahadiran, kemahatahuan, pikiran, dan kehendak ilahi. Ini karena kita sedang berbicara ke-satu-an-Nya.
Lain halnya jika kita sedang membicarakan ketigaan-Nya. Di sini kita membicarakan perbedaan. Distingsi atau perbedaan berurusan dengan diversitas Pribadi, atau dengan kata lain, ketigaan-Nya. Sedangkan kesamaan berurusan dengan ke-satu-an-Nya.
Maka ketika kita membicarakan satu kemahakuasaan ilahi yang dimiliki secara sempurna oleh ketiga Pribadi, kita dapat mengatakan bahwa Pribadi Bapa memiliki kemahakuasaan yang sama dengan kemahakuasaan Anak dan juga dengan kemahakuasaan Roh Kudus. Kita tidak dapat mengatakan ada distingsi kemahakuasaan, karena ini berarti menolak ke-satu-an Allah. Hal yang sama dapat dikatakan tentang pikiran dan kehendak ilahi. Pikiran dan kehendak ilahi yang satu ini dimiliki secara sempurna oleh ketiga Pribadi. Sama dengan kemahakuasaan ilahi, tidak ada distingsi pikiran dan kehendak ilahi. Karena sekali lagi, jika kita membicarakan distingsi, kita bukan sedang membicarakan kesatuan esensi/substansi, melainkan kita sedang membicarakan ketigaan Pribadi. Tidak ada distingsi kemahahadiran ilahi, tidak ada distingsi kemahakuasaan ilahi, tidak ada distingsi kemahatahuan ilahi, dan juga tidak ada distingsi pikiran dan kehendak ilahi. Properti khusus ilahi ini sama (common) bagi ketiga Pribadi.

BACA JUGA: KESELAMATAN HANYA OLEH IMAN FONDASI GOLGOTA

Mengusulkan distingsi dalam ranah substansi/esensi akan merusak simplisitas ilahi. Allah itu satu substansi-Nya. Distingsi tidak dibicarakan dalam ranah substansi yang hanya satu dan sama itu, melainkan dalam ranah ketigaan Pribadi.
Pengakuan-pengakuan iman Reformed mengajarkan distingsi Pribadi bukan dalam distingsi pikiran dan kehendak, melainkan dalam pembedaan opera ad intra dan opera extra. Menurut opera ad intra: Bapa bukanlah yang dilahirkan, melainkan yang melahirkan. Anak adalah yang dilahirkan dan bukan yang melahirkan. Roh Kudus adalah yang keluar dari, bukan yang melahirkan dan yang dilahirkan. Westminster Confession mengajarkan: “The Father is of none, neither begotten, nor proceeding; the Son is eternally begotten of the Father; the Holy Ghost eternally proceeding from the Father and the Son” (II.3). Second Helvetic mengajar: “So, as the Father has begotten the Son from eternity, the Son is begotten in an unspeakable manner; and the Holy Spirit proceeds from them both” (III.3). Menurut opera ad extra: Bapa dikaitkan dengan karya penciptaan, Anak dengan penebusan, dan Roh Kudus dengan pengudusan. Heidelberg Catechism mengajar: “The first is of God the Father and our creation; the second, of God the Son and our redemption; the third, of God the Holy Ghost and our sanctification” (Q/A 24). Atau gabungan antara opera ad intra dan ad extra seperti misalnya dalam Belgic Confession: “The Father is the cause, origin, and beginning of all things, visible and invisible; the Son is the word, wisdom, and image of the Father; the Holy Ghost is the eternal power and might, proceeding from the Father and the Son” (Art. 8).
Perhatikan bahwa distingsi ketigaan Pribadi Tritunggal tidak pernah dibicarakan dalam urusan dengan ke-satu-an Tritunggal, baik itu kemahakuasaan-Nya, kemahahadiran-Nya, kemahatahuan-Nya, pikiran dan kehendak ilahi-Nya.
Sebaliknya, kesatuan Tritunggal dibicarakan dalam kaitan dengan properti khusus ilahi, bukan dalam keberbedaan Pribadi. Westminster Confession mengajar: “In the unity of the Godhead there be three persons, of one substance, power, and eternity” (II.3). Westminster mengaitkan kesatuan ilahi dengan kekuasaan dan kekekalan ilahi, yang juga adalah satu dan sama. Second Helvetic mengajarkan: “So that there are not three Gods, but three persons, consubstantial, coeternal, and coequal; distinct, as touching their persons; and, in order, one going before another, yet without inequality. For, as touching their nature or essence, they are so joined together that they are but one God; and the divine essence is common to the Father, the Son, and the Holy Spirit” (III.3). Perhatikan bahwa Second Helvetic mengajarkan bahwa esensi ilahi itu satu dan sama, tidak ada distingsi.
Kesimpulan: distingsi dibicarakan dalam ketigaan Pribadi, bukan dalam kesatuan esensi/ilahi.
Maka dengan demikian, tidak tepat jika kita mengatakan ada distingsi pikiran dan kehendak dalam Tritunggal, karena hanya ada satu pikiran dan satu kehendak ilahi. Yang satu selalu satu, tidak pernah adalah tiga, sebagaimana yang tiga selalu tiga, tidak pernah adalah satu. Sabellius mengajarkan kesesatan, bukan karena ia percaya hanya ada satu kemahakuasaan, satu kemahahadiran, satu kemahatahuan, satu pikiran dan satu kehendak ilahi, dan juga bukan karena Sabelius tidak percaya ada distingsi pikiran dan kehendak ilahi dalam ketiga Pribadi Tritunggal, melainkan karena ia menolak ketigaan Pribadi Tritunggal yang sungguh-sungguh berbeda satu dengan yang lain.
Sebaliknya, kita perlu berhati-hati untuk tidak mengacaukan kesatuan substansi/esensi dengan mengajarkan bahwa ada distingsi dan ketigaan. Mengaburkan perbedaan Anak dan Roh Kudus merupakan sebuah kekeliruan (karena harusnya ada distingsi). Sebaliknya, mengajarkan ada distingsi equality, power, eternity, mind, and will dalam Tritunggal juga merupakan kekeliruan (seharusnya tidak ada distingsi). Mengajarkan perbedaan kehendak dalam kehendak ilahi, hal mana merupakan aspek kesatuan substansi/esensi, dan bukan ketigaan Pribadi, juga merupakan sebuah ajaran yang keliru.
Second Helvetic Confession mengajarkan: “We also condemn all heresies and heretics who teach that the Son and the Holy Spirit are God only in name; also, that there is in the Trinity something created, and that serves and ministers unto another; finally, that there is in it something unequal, greater or less, corporeal or corporeally fashioned, in manners or in will diverse ...” (III.5). Second Helvetic mengutuk pandangan yang mengajarkan ada distingsi kehendak ilahi dalam Tritunggal (in will diverse/voluntate diversum). Ini karena kehendak ilahi itu hanya satu dan sama, dimiliki oleh ketiga Pribadi secara sempurna. Mereka yang mengajarkan ada distingsi kehendak ilahi (in will diverse), menurut Second Helvetic, sebenarnya sedang mengajarkan ajaran heretic. Ajaran seperti itu bukanlah ajaran yang diwarisi dari tradisi teologi Reformed, melainkan merupakan sebuah ajaran pribadi. Kiranya Allah Tritunggal menolong kita untuk mengenal Dia dengan benar.
- Pdt Billy Kristanto -
.