Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

TUJUAN YESUS KRISTUS : MENDAMAIKAN DUNIA DENGAN ALLAH

Samuel T. Gunawan, SE.,  M.Th. 
TUJUAN YESUS KRISTUS : MENDAMAIKAN DUNIA DENGAN ALLAH . “(5:18) Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. (5:19) Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami. (5:20) Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami; dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah”
(2 Korintus 5:15,18-20)
PENDAHULUAN
Pendamaian merupakan doktrin yang paling penting dan menentukan dalam soteriologi. Millard J. Millard J.Erickson mengatakan, “doktrin pendamaian ini merupakan doktrin yang paling menentukan bagi kita karena di dalamnya kita berhadapan dengan titik balik dari, katakanlah, unsur obyektif kepada unsur subyektif dari teologi Kristen. Di dalam doktrin ini kita menggeser fokus kita dari sifat Kristus kepada karyaNya yang aktif demi kita; di dalam doktrin ini teologi sistematika diterapkan langsung pada kehidupan kita. Pendamaian telah memungkinkan keselamatan kita”.[1] Leon Morris, walau terkesan ekstrem, mengatakan demikian “Pendamaian merupakan doktrin yang paling penting dari iman Kristen. Kecuali pemahaman kita benar mengenai pendamaian ini, setidak-tidaknya bagi saya, maka tidak terlalu penting lagi pemahaman kita tentang doktrin yang lain”.[2]  Morris Juga menyatakan, “Yang sangat penting dalam beberapa diskusi belakangan ini adalah konsep Paulus tentng pendamaian. Istilah ini dipakai dalam sejumlah kecil bagian (Roma 5:10-11; 2 Korintus 5:18-20; Efesus 2:16; Kolose 1:20-22), tetapi tersirat dalam banyak ayat lainnya, misalnya bagian-bagian yang berbicara tentang perdamaian yang terjadi antara Allah dengan manusia. Pendamaian ini dapat dipastikan merupakan suatu konsep yang penting dan adalah sangat berarti bahwa Paulus melihat kematian Kristus telah menyelesaikan permusuhan yang diakibatkan oleh dosa, dan membawa khasiat pendamaian yang berjangkauan jauh”.[3]
Sementara itu, Kevin J. Conner dalam menanggapi berbagai teori keliru tentang kematian Kristus seperti teori kecelakaan, teori martir, teori pengaruh moral, teori pemerintahan, teori komersial, dan teori penghapusan, mengatakan demikian, “Semua teori-teori ini tidak tepat dan dan memiliki elemen-elemen yang keliru di dalamnya. Teori-teori tersebut merupakan pikiran alami yang berupaya menjelaskan kematian Kristus yang unik sehingga menyimpangkan kebenaran. Kristus benar-benar mati sebagai hasil kesetiaan kepada kebenaran yang Dia ajarkan dan yakini. Dia benar-benar mati sebagai ekspresi kasih Allah. Dia benar-benar mati untuk menegakkan kebenaran dari pemerintahan Allah. Dia mati untuk membayar harga pembebasan dosa. Tetapi semuanya ini hanyalah sebagian aspek dari kematianNya. Mereka semua menghilangkan tujuan utama dari kematianNya yakni pendamaian. Menghilangkan kematian Kristus yang mendamaikan berarti menghilangkan kebenaran mendasar dari karya Kristus”.[4] Disini Kevin J. Conner mengakui bahwa tujuan utama kematian Kristus adalah pendamaian. Dan apa yang dinyatakan oleh Kevin J. Conner tersebut di atas selaras dengan seluruh kebenaran Alkitab. Istilah-istilah teologis dan alkitabiah seperti penebusan, korban pengganti (substitusi), peredaan murka (propisiasi), penghapusan kesalahan (ekspiasi), pengampunan, dan pembenaran merupakan bagian-bagian penting dari pendamaian (rekonsiliasi) yang dikerjakan Kristus melalui kematianNya di kayu salib.
Secara khusus rasul Paulus dalam ayat bacaan kita di atas menyatakan bahwa “Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diriNya (2 Korintus 5:18)” dan  “Allah telah mendamaikan dunia dengan diriNya oleh Kristus (2 Korintus 5:19)”. Kata “mendamaikan” dalam ayat tersebut merupakan terjemahan dari kata Yunani “katallasso” yang berarti “mengubah permusuhan menjadi persahabatan”.[5] Kata “katallasso” ini digunakan pada pendamaian antara manusia dengan Allah dan antara seorang wanita yang kembali kepada suaminya (Roma 5:10,11; 11:15; dan 1 Korintus 7:11).[6]  George W. Peters mengatakan, “Paulus telah menanamkan banyak kebenaran, yang tak terhapuskan, kepada dunia. Yang paling menonjol diantaranya ialah kenyataan bahwa ‘Allah mendamaikan dunia dengan diriNya oleh Kristus’. Dengan kata lain, Allah telah menyediakan di dalam Kristus keselamatan yang cukup untuk menyelamatkan manusia dari kebinasaannya yang mutlak dan kekal serta menawarkan kemuliaan yang tak terkatakan serta tak terlukis. Paulus menekankan bahwa Allah telah memberikan seorang Juruselamat dan keselamatan yang cukup untuk semua manusia”.[7] 
TUJUAN INKARNASI KRISTUS KE DALAM DUNIA
Ketika Kristus mengatakan kepada murid-muridNya , “sama seperti Bapa telah mengutus Aku,..” (Yohanes 2O:21), kita langsung teringat pada kata “misi”. Istilah “misi” atau “mission (Inggris)” berasal dari kata Latin “missio” yang berarti “mengutus”, hampir sama dengan kata dalam bahasa Yunani “apostello”, yang artinya “mengutus”.[8]  Kata “apostello” muncul sebanyak 135 kali dalam seluruh Perjanjian Baru, di mana sebanyak 123 kali digunakan dalam Kitab Injil dan Kisah Para rasul.[9]  George W. Peter, seorang pakar misiologi mengatakan, “kata kerja ‘apostello’ mengandung arti pengutusan seorang duta dengan satu tugas khusus. Karenanya kata itu dipakai untuk misi dari anak Allah, dan untuk rasul-rasulNya.”[10]
Sebagai Anak, Kristus telah diutus oleh Bapa ke dalam dunia dengan satu tugas khusus, karena itu Ia disebut dengan sebutan “Rasul” (Apostle). Penulis Kitab Ibrani dengan jelas mengatakan demikian, “Sebab itu, hai saudara-saudara yang kudus, yang mendapat bagian dalam panggilan sorgawi, pandanglah kepada Rasul dan Imam Besar yang kita akui, yaitu Yesus” (Ibrani 3:1). Jadi, Allah telah mengutus Kristus ke dalam dunia melalui inkarnasiNya untuk melaksanakan tugas khusus, yaitu misi pendamaian. Injil Yohanes menyebut Yesus dengan gelar “Anak Domba Allah” (Yohanes 1:29,36). Pada sebutan pertama, gelar ini diperjelas dengan keterangan tambahan “yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29). Gelar itu memberitahukan kita betapa pentingnya misi Yesus itu. W. Hall Harris mengatakan, “Bahwa misi itu berkaitan dengan pendamaian sangat sejalan dengan penghapusan dosa dan juga dengan pernyataan-pernyataan lain di bagian selanjutnya dalam Injil Yohanes : ‘Sebab Allah mengutus AnakNya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkanNya oleh Dia’ (Yohanes 3:17); dan ‘kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kau katakan, tetapi sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia’ (Yohanes 4:42)”.[11]
Millard J. Erickson menjelaskan tentang maksud pengutusan Yesus ke dalam dunia ini demikian, “Yesus cukup menyadari bahwa Ia diutus oleh Bapa, dan bahwa Ia harus melakukan pekerjaan Sang Bapa. Dia menyatakan dalam Yohanes 10:36 bahwa Bapa telah mengutusNya ke dalam dunia ini. Dalam Yohanes 3:38 Yesus mengatakan, ‘Sebab Aku telah turun dari surga bukan untuk melakukan kehendakKu, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku’. Rasul Yohanes juga dengan jelas menghubungkan pengutusan oleh Bapa dengan karya penebusan dan pendamaian Anak, ‘Sebab Allah mengutus AnakNya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia’ (Yohanes 3:17). Jelas bahwa maksud kedatangan Kristus adalah untuk mengadakan pendamaian, dan Allah Bapa ikut terlibat dalam karya tersebut. Yang dimaksud dengan menekankan bahwa kedatangan Anak adalah karena diutus oleh Bapa ialah untuk menjelaskan bahwa karya Anak tidaklah terlepas dari, atau tidak bertentangan dengan, apa yang dilakukan Bapa.”[12]
Misi itu telah selesai dikerjakan Kristus, karena dunia telah didamaikan dengan Allah oleh Kristus melalui kematianNya (2 Korintus 5:15-20). Kapan misi itu selesai? Ketika disalib sebelum mati Yesus berkata “sudah selesai” (Yohanes 19:30). Kata “sudah selesai” adalah kata Yunani “τετελεσται – tetelestai” ini berasal dari kata kerja τελεω – teleô, artinya "mencapai tujuan akhir, menyelesaikan, menjadi sempurna”. Kata ini menyatakan keberhasilan akhir dari sebuah tindakan. Paul Enns menyatakan, “Karya Kristus sesuai dengan tujuanNya datang ke dunia, digenapkan dalam Yohanes  19:30. Setelah enam jam di atas kayu salib Yesus berseru ‘sudah selesai!’ (Yunani: Tetelestai). Yesus tidak mengatakan ‘saya telah selesai!’, tetapi ‘sudah selesai!’. Ia telah menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Bapa kepadaNya; karya keselamatan telah diselesaikan.  Tensa bentuk lampau darai kata kerja ‘tetelestai’ dapat diterjemahkan ‘hal itu akan tetap selesai’, artinya pekerjaan itu untuk selamanya selesai dan akibat dari selesainya pekerjaan itu terus berlaku”.[13] Ditempat lain, Paul Enns mengatakan, “bagaimana Kristus mencapai pendamaian? Melalui kematianNya (Roma 5:10). Karena Kristus adalah Allah, kematianNya tak ternilai hargaNya, menyediakan pendamaian bagi dunia. Hal ini signifikan karena kematian Kristus menjadikan dunia bisa diselamatkan”.[14]
Berita pendamaian yang sudah selesai Yesus kerjakan itu harus disampaikan kepada dunia oleh orang-orang percaya melalui pemberitaan Injil dengan panggilan “berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (2 Korintus 5:20), dan “percayalah kepada Yesus Kristus maka engkau akan selamat” (Kisah Para Rasul 16:31). Jadi meskipun dunia telah didamaikan dengan Allah melalui kematian Kristus, tetapi setiap orang secara pribadi harus memberi dirinya sendiri untuk didamaikan dengan Allah dengan percaya kepada Kristus. Dan hanya dengan cara demikianlah, maka keadaannya dihadapan Allah diubah. Karena pendamaian yang terjadi di dalam kematian Kristus, maka sekarang manusia dapat diselamatkan. Tetapi hal itu sendiri tidak menyelamatkan satu manusia pun, sebab pelayanan pendamaian itu harus dilaksanakan dengan setia melalui pemberitaan Injil. Pada saat seseorang menjadi percaya, maka ia menerima pendamaian yang diberikan Allah di dalam kematian Kristus (2 Korintus 5:18-21). Dunia telah didamaikan, tetapi setiap orang secara pribadi perlu didamaikan. Pendamaian secara universal ini mengubah keadaan dunia dari tidak dapat diselamatkan menjadi dapat diselamatkan. Pendamaian secara pribadi melalui iman benar-benar membawa pendamaian itu dalam hidup orang yang bersangkutan dan mengubah keadaan orang itu dari tidak diselamatkan menjadi diselamatan.
PENGERTIAN PENDAMAIAN
Pemberian definisi terhadap suatu istilah atau kata itu penting, khususnya untuk menghindari kesimpangsiuran dalam pemberian arti. Definisi itu sendiri berarti pembatasan, yaitu menentukan batas-batas pengertian tertentu sehingga jelas apa yang dimaksud, tidak kabur, dan tidak dicampuradukkan dengan pengertian-pengertian lain.[15] Setiap pembaca pada umumnya ingin mengetahui batasan arti dari suatu istilah sebelum ia melangkah lebih jauh untuk memahami maknanya. Karena itu, berkaitan dengan istilah “pendamaian” dalam tulisan ini, maka saya pikir perlu untuk memberikan arti etimologi kata dan definisi uraiannya.[16]
1.   Arti Etimologi. Menurut Paul Enns, “Kata bahasa Inggris ‘atonement’ (pendamaian) berasal dari dua kata ‘at’ dan ‘onement’, yang berarti ‘rekonsiliasi’. Meskipun kata pendamaian (atonement) bukan merupakan kata di Perjanjian Baru, hal ini menunjukkan pada apa yang telah diselesaikan oleh Kristus di atas kayu salib melalui penderitaan dan kematianNya”.[17] Paul Enns juga menjelaskan latar belakang dari kata atonement itu demikian,  “Waktu William Tyndale menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Inggris ia menemukan kesukaran besar untuk mendapatkan kata yang memuaskan yang dapat menyampaikan arti pekerjaan Kristus dalam upayaNya mendamaikan manusia dengan Allah. Karena ia tidak menemukan kata yang sesuai, Tyndale menggabungkan dua kata sederhana ‘at (pada)’ dan ‘onement  (kesatuan)’, membuat kata tersebut ‘atonement’ (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai pendamaian atau kadang kala penebusan), dan dengan demikian dalam etimologinya memberi petunjuk kepada ajaran Alkitab mengenai pendamaian”.[18] Paul Enns juga menambahkan bahwa “penekanan dari rekonsiliasi (pendamaian) adalah berdamai dengan Allah. Manusia yang terpisah dari Allah dibawa kembali kepada persekutuan dengan Allah”.[19] Sementara itu, Kevin J. Conner menjelaskan asal kata atonement tersebut demikian, “Kata Inggris kuno yang dipakai untuk kata ‘pendamaian’ berarti ‘dijadikan sepakat, mendamaikan, membawa kesepakatan, atau memperdamaikan’. Maka kata tersebut bisa dibaca ‘at-one-ment’ (pendamaian)’, pembuatan kesepakatan dari mereka yang memiliki ketidaksepakatan”.[20]  
Charles F. Beker, ketika menjelaskan tentang pendamaian (atonement) dengan merujuk pada kata-kata dalam bahasa Ibrani dan Yunani. Menurutnya, ada tiga kata dalam bahasa Ibrani untuk pendamaian, yaitu : (1) khapar, yang berarti menutupi, diterjemahkan dengan kata “pendamaian atau penebusan (atonement)” sebanyak 76 kali dan pendamaian (rekonsiliasi) sebanyak 7 kali. Kata atonement ini hanya muncul satu kali dalam Perjanjian Baru (Roma 5:11, KJV) selebihnya menggunakan kata rekonsiliasi; (2) Khata, yang artinya mempersembahkan sebagai korban dosa. Kata ini hanya hanya sekali diterjemahkan rekonsiliasi dalam KJV (2 Tawarikh 29:24); (3) Ratsah, yang artinya membuat berkenan, memenuhi tuntutan (membayar) utang. Kata ini hanya sekali diterjemahkan rekonsiliasi dalam KJV (1 Samuel 29:4). Sementara itu, tiga kata Perjanjian Baru untuk pendamaian semuanya dibentuk dari kata Yunani “allasso” yang berarti “mengubah”. (1) Diallasso, yang berarti mengubah permusuhan menjadi persahabatan. Kata ini hanya muncul satu kali tanpa kaitannya dengan keselamatan (Matius 5:24); (2) Katallasso, yang berarti mengubah permusuhan menjadi persahabatan dan digunakan pada pendamaian antara manusia dengan Allah (Roma 5:10,11; Roma 11:15; 2 Korintus 5:18-20) dan digunakan juga untuk menggambarkan seorang wanita yang kembali kepada suami (1 Korintus 7:11); (3) Apokatallasso, yaitu suatu bentuk intensif yang berarti berdamai sepenuhnya (Efesus 2:16; Kolose 1:20-22a).[21]  Selanjutnya Charles F. Beker menambahkan bahwa “kata atonement muncul hanya sekali dalam Perjanjian Baru KJV (Roma 5:11), ditempat kata itu yang seharusnya diterjemahkan reconciliation”.[22]  Kata “atonement” ini, dalam Perjanjian Lama dipakai untuk menerjemahkan kata Ibrani “kaphar” yang berarti “menutupi”, dipakai sebanyak 76 kali.[23] Dengan demikian, istilah “atonement” itu sama dengan pendamaian atau rekonsiliasi.
2.   Definisi.  Berikut ini definisi pendamaian yang dikutip dari pendapat para ahli teologi dan Alkitab.  (1) Berdasarkan arti etimologinya, Charles F. Beker mendefinisikan pendamaian sebagai berikut, “Atonement, aslinya berarti reconsiliation atau tindakan membawa mereka yang saling menjauh ke dalam kesepakatan, kini terutama digunakan sebagaimana dalam teologi dengan pengertian suatu persembahan, korban, atau penderitaan yang memadai untuk mendapatkan pengampunan atau imbalan bagi suatu pelanggaran”.[24]  (2)  Paul Enns mendefinisikan pendamaian sebagai “Tindakan Allah mengangkat penghalang dari dosa, dan menghasilkan damai dan memampukan manusia untuk diselamatkan”.[25] Menurut Paul Enns, ada dua bagian dari pendamaian itu, yaitu : Aspek objektif dimana manusia telah didamaikan dengan Allah sebelum beriman dan manusia dinyatakan dapat diselamatkan (2 Korintus 5:18a,19a). Aspek subjektif dimana manusia didamaikan pada Allah saat ia percaya (2 Korintus 5:18b,19b).[26] (3) Sementara itu Charles C. Ryrie ketika mendefinisikan pendamaian membedakannya dalam dua pengertian berdasarkan hubungkan dengan dunia dan Allah. Dalam hubungannya dengan dunia, pendamaian berarti “suatu perubahan hubungan dari permusuhan menjadi kerukunan dan perdamaian antara dua pihak. Manusia dapat didamaikan satu dengan yang lainnya (Matius 5:24, diallasso; 1 Korintus 7:11, Katallasso), dan manusia telah didamaikan dengan Allah (Roma 5:1-11, 2 Korintus 5:18-21, Katallasso; Efesus 2:16; Kolose 1:20, apokatallasso)”.[27] Sedangkan dalam hubungannya dengan Allah, pendamaian berarti “penghapusan kemurkaan melalui pengorbanan. Dalam hubungannya dengan soteriologi, pendamaian berarti mendamaikan atau menghilangkan murka Allah melalui korban penebusan Kristus”.[28]
Berdasarkan etimologi dan beberapa kutipan definisi di atas, secara sederhana istilah pendamaian dapat didefinisikan sebagai berikut, “pendamaian adalah tindakan Allah untuk mengangkat penghalang antara Allah dan manusia karena dosa melalui Yesus Kristus supaya manusia memperoleh keselamatan”. Ada beberapa ide penting yang ditekankan dalam definisi tersebut yaitu : (1) pendamaian merupakan inisiatif dan tindakan Allah; (2) pendamaian dilaksanakan untuk mengangkat penghalang antara manusia dengan Allah. Penghalang antara manusia dengan Allah adalah dosa manusia; (3) pendamaian dilakukan oleh perantaraan Kristus; (4) pendamaian memungkinkan manusia untuk diselamatkan. Dengan demikian definisi ini membedakan pendamaian dari keselamatan.
Penting untuk menegaskan bahwa pendamaian tidaklah sama dengan keselamatan. Kedua istilah ini jelas dibedakan dalam Alkitab. Beberapa orang karena kecerobohannya telah mengaburkankan arti dari pendamaian dengan menjadikan pendamaian melalui kematian Kristus itu sinonim dengan keselamatan. Secara etimologi tentu saja kedua istilah itu benar-benar berbeda. Istilah pendamaian telah dijelaskan di atas baik secara etimologis maupun definitif. Sedangkan istilah “keselamatan” secara etimologis berasal dari kata Yunani “soteria”.[29] Kata soteria ini digunakan sebanyak 45 kali dalam Perjanjian Baru, dan dalam King James Version diterjemahkan dengan salvation (keselamatan) sebanyak 40 kali, health (kesehatan) sebanyak 1 kali, saving (menyelamatkan) sebanyak 1 kali, deliver (melepaskan) sebanyak 1 kali, dan saved (diselamatan) sebanyak 1 kali. Kata “soterion” muncul 5 kali dan dalam KJV selalu diterjemahkan dengan salvation.[30]  Menurut Charles C. Ryrie, dalam Septaguita maupun dalam Perjanjian Baru, kata kerja Yunani “sozo” dan kata-kata yang sama asalnya “soter” dan “soteria” biasanya merupakan terjemahan dari kata Ibrani Perjanjian Lama “yasha”. Kata “yasha” ini berarti “kebebasan dari sesuatu yang mengikat atau membatasi, dan kemudian  berarti pembebasan, pelepasan, atau memberikan keluasan dan kelapangan kepada sesuatu. Sedangkan kata “sozo”  (dan kata-kata yang sama asalnya “soter” dan “soteria”) berhubungan dengan perawatan, kesembuhan, pertolongan, penyelamatan, penebusan atau kesejahteraan, yang dihubungkan dengan pemeliharaan dari bahaya, penyakit, ataupun kematian (Matius 9:22, Kisah Para Rasul 27:20,31-34; Ibrani 5:7).[31] Untuk pemakaian Kristen yang penuh, berarti penyelamatan dari kematian kekal dan pemberian hidup yang kekal kepada seseorang (Roma 5:9; Ibrani 7:25).[32]
Ringkasnya, istilah pendamaian dipakai untuk menjelaskan tindakan Allah yang mengangkat penghalang antara Allah dan manusia karena dosa melalui Yesus Kristus supaya manusia memperoleh keselamatan (Roma 5:10-11; 2 Korintus 5:18-20; Efesus 2:16; Kolose 1:20-22),, sedangkan istilah keselamatan dipakai untuk menyatakan tindakan Allah di dalam Kristus yang membebaskan manusia dari kematian kekal dengan memberikan hidup yang kekal kepada mereka yang percaya (Yohanes 3:16,17; Kisah Para Rasul 16:30-32; 1 Yohanes 5:11-13).
ARAH PENDAMAIAN
Arah pendamaian menunjukkan kepada pihak yang didamaikan.[33] Charles C. Ryrie menyatakan bahwa ada tiga jawaban pokok atas pertanyaan  mengenai arah pendamaian ini, yaitu : (1) Allah yang didamaikan dengan manusia; (2) manusia yang didamaikan dengan Allah; dan (3) kedua belah pihak didamaikan secara bersama-sama.[34] Representatif pandangan pertama dipegang oleh William G.T Shedd, pandangan kedua dipegang oleh John F. Walvoord, dan pandangan ketiga dipegang oleh Louis Berkhof.[35] Menurut Charles F. Beker, kebingungan mengenai arah pendamaian ini terjadi karena kegagalan dalam membedakan  istilah peredaan murka (propisiasi) dari pendamaian (rekonsiliasi). Louis Berkhof kelihatannya menggunakan kedua kata ini sebagai sinonim.[36] Padahal kedua istilah tersebut tidak sinonim dan harus dibedakan. Propisiasi berhubungan dengan pemenuhan tuntutan sehingga pendamaian yang dilakukan mampu meredakan murka Allah. Sedangkan pendamaian (rekonsilisi) berhubungan dengan mengubah permusuhan menjadi persahabatan, dimana manusia didamaikan dengan Allah.
Mengenai perlunya pendamaian ini, George Eldon Ladd menjelaskan, “pendamaian diperlukan ketika persekutuan antara dua pihak rusak sehingga menyebabkan satu atau kedua pihak itu bermusuhan satu sama lain. Dosa telah memutuskan persekutuan dan menjadi penghalang. Sejauh ini nampaknya tak ada masalah dalam ajaran Alkitab. Namun muncul pertanyaan yang sulit, siapa yang dijauhkan atau yang terpisah sehingga perlu diperdamaikan? Telah dibuktikan bahwa manusia telah terpisah jauh dari Allah, bahwa ia telah memberontak dalam hati dan pikiran, dan pemberontakannya perlu diubah menjadi ketaatan sukarela dan tulus kepada Allah”.[37] Demikian juga Paul Enns menyatakan, “Pendamaian menyatukan dua pihak yang tadinya bermusuhan satu sama lain. Dalam kematian Kristus di kayu salib, Allah dan manusia, yang tadinya terpisah melalui dosa, dibawa menyatu. Siapakah yang menjauh dari persekutuan?  Manusialah yang melakukannya melalui dosanya di Taman Eden, dengan membelakangi Allah dalam pemberontakkannya dan menjauhi dirinya dari persekutuan bersama Allah. Oleh karena itu, manusia perlu didamaikan dengan Allah. Dalam keadaan kita yang tidak diselamatkan, kita dalam status perang, musuh Allah kita memerlukan pendamaian (Roma 5:10).”[38] Sementara itu Millard J. Erickson mengatakan, “kematian Kristus juga mengakhiri permusuhan dan keterasingan yang memisahkan Allah dengan umat manusia. Permusuhan kita terhadap Allah kini disingkirkan. Penekanan yang dikemukankan dalam Alkitab biasanya ialah bahwa kita diperdamaikan dengan Allah, maksudnya, Dialah yang memainkan peran aktif; Dialah yang mendamaikan kita dengan diriNya”.[39]
Dengan demikian, arah pendamaian ini sudah jelas menurut Alkitab, Rasul Paulus mengatakan “Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diriNya dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diriNya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami” (2 Korintus 5:18-19). Disini arah dari pendamaian yang dilakukan oleh Kristus melalui kematianNya adalah bahwa manusia berdosalah yang didamaikan dengan Allah. Akibat dosa, maka Allah dan manusia berada dalam hubungan permusuhan dan perseteruan. Meskipun hal tersebut tidak disebutkan dalam 2 Korintus 5, tetapi dijelaskan dalam Roma 5. Manusia adalah seteru Allah  (Roma 5:10), dan Allah menganggap manusia sebagai musuhnya. Namun perlu diingat disini, bukan Allah yang memusuhi manusia, tetapi manusialah yang memusuhi Allah. Bukan Allah yang meninggalkan persekutuan dengan manusia, tetapi manusialah yang menjauh dari Allah ketika melanggar perintah Allah dan berdosa. Allah dalam segala atribut dan kebenaranNya sempurna dan tidak pernah berubah. Namun, pemberontakan dan dosa manusia menyebabkan Allah murka, dan manusia dalam keberdosaannya telah menjadi musuh Allah (Roma 5:9-10). Kenyataan akan adanya murka Allah ini mengharuskan adanya peredaan murka (propisiasi) melalui korban penebusan sehingga terbuka jalan bagi rekonsiliasi.
Lebih jelas lagi Lewis Sperry Chafer mengatakan demikian, “Kedua aspek pendamaian paling baik diutarakan dalam 2 Korintus 5:19-20. Dalam ayat 19 dinyatakan bahwa dunia (kosmos, yang istilahnya tidak pernah dengan rentangan eksegesis manapun dibuat mewakili orang-orang pilihan yang diselamatkan darinya) didamaikan kepada Allah. Bagian Alkitab sangat penting ini mengetengahkan kebenaran bahwa di dalam dan melalui kematian Kristus Allah mengubah sepenuhnya kedudukan dunia dalam hubungannya dengan diriNya. Alkitab tidak pernah menyatakan bahwa Allah didamaikan. Jika dianggap bahwa Allah ditampilkan sebagai sepenuhnya mengubah perilakuNya terhadap dunia karena kematian Kristus, kiranya diingat bahwa kebenaranNya yang dilibatkan. Sebelum kematian Kristus, kebenaranNya memerlukan tuntutan-tuntutan penghakiman; tetapi setelah kematian Kristus kebenaran yang sama itu memerdekakan untuk menyelamatkan yang terhilang. KebenaranNya dengan demikian tidak berubah dan tidak juga bertindak dengan cara lain daripada adil secara sempurna. Jadi, Allah yang melihat dunia berubah total dalam hubungannya dengan Dia oleh kematian Kristus, bukanlah yang diriNya didamaikan atau berubah”.[40]
Jadi, walaupun pendamaian itu merupakan inisiatif dan tindakan Allah, karena Dialah yang memainkan peran aktif dan Dialah yang mendamaikan kita dengan diriNya, sebagaimana yang dikatakan oleh David K. Lowery bahwa “karya Kristus menyebabkan rekonsiliasi antara Allah dan manusia... bahwa Allah mengambil inisiatif dalam rekonsilisi itu”, [41]  yang terlaksana melalui kematian Kristus, namun penekanan yang dikemukakan dalam Alkitab biasanya ialah bahwa manusialah yang didamaikan dengan Allah.[42] Dengan demikian, kita harus memberikan arti pendamaian itu seperti yang Alkitab lakukan, yaitu bahwa pendosa telah didamaikan kepada Allah dan bahwa bukan Allah telah didamaikan kepada pendosa.[43]
MAKNA PENDAMAIAN
Makna pendamaian yang dilakukan oleh Kristus dalam kematianNya tidaklah dapat ditangkap dalam satu atau dua kalimat atau pernyataan, namun makna dasarnya dapat dan harus dipusatkan pada beberapa gagasan yang sangat mendasar, yaitu : pengorbanan, pengantaraan, pencurahan darah, peredaan murka (propisiasi), penghapusan kesalahan (ekspiasi), korban pengganti (substitusi), penebusan, pengampunan (amnesti), dan pembenaran (jastifikasi).
1.   Pengorbanan. Rasul Paulus memandang kematian Kristus sebagai kematian korban. Di dalam beberapa ayat referensi Paulus jelas menghubungkan kematian Kristus dengan ritual Perjanjian Lama dan konsep pengorbanan. George Eldon Ladd menjelaskan, “Kata ‘hilastérion’ atau yang diterjemahkan dengan ‘jalan pendamaian’ yang digunakan Paulus dalam Roma 3:25 menunjuk langsung kepada korban dosa yang dipersembahkan oleh imam besar pada hari Pendamaian. Paulus menggambarkan kematian Kristus sebagai korban yang harum bagi Allah (Efesus 5:2).”[44] Selanjutnya, perkataan rasul Paulus  “peri hamartias” atau yang diterjemahkan dengan “karena dosa” menunjuk pada kematian Kristus yang berkorban, atau “sebagai korban dosa”. Sekali lagi, Paulus membicarakan tentang Kristus sebagai domba Paskah yang tersembelih (1 Korintus 5:7).[45] Kematian Kristus dipandang bukan sebagai kematian biasa saja, melainkan penyerahan hidup dan pengorbanan hidup. Penulis Kitab Ibrani menyatakan bahwa sebagai ganti korban bakaran, maka tubuh Kristus dipersembahkan sebagai korban (Ibrani 10:5-18). PengorbananNya terlihat dari kerelaanNya dalam menanggung hinaan dan penderitaan sampai Ia mati di kayu salib. Penulis Kitab Ibrani mengatakan bahwa Kristus, “mengalami maut bagi semua manusia” (Ibrani 2:9).
2.   Pengantaraan. Kata Yunani “pengantara” dalam Perjanjian Baru adalah “mesites”, yang berarti “ pergi diantara, yakni secara sederhana, perwakilan, atau (dengan implikasi) seorang pendamai, seorang pensyafaat”.[46] Seorang perantara adalah “seorang yang berada di tengah” atau “seorang yang menengahi antara pihak-pihak yang berbeda, untuk tujuan mendamaikan mereka”.[47] Keunikan dari pengorbanan Kristus dan yang sangat penting adalah bahwa Kristus adalah korban dan sekaligus Imam Besar yang mempersembahkan korban itu. Dua pihak dalam sistem keimaman tergabung menjadi satu. Herbert Wolf menjelaskan  pelayanan imam besar dalam Perjanjian Lama sebagai berikut, “Fokus utama dalam Kitab Keluaran dan Imamat terletak pada pelayanan imam besar, yang adalah pengantara di antara Allah dan bangsa Israel”.[48] Lebih lanjut Herbert Wolf menjelaskan, “Hari yang paling penting dalam satu tahun ialah Hari Raya Pendamaian (Yom Kippur) yang jatuh pada tanggal 10  dari bulan ketujuh (September-Oktober). Pada hari itu, imam besar memasuki Tempat Mahakudus lalu memercikkan darah dihadapan Tabut Perjanjian”.[49]  
Karya Kristus dalam Ibrani 9:6-15 disamakan dengan Hari Raya Pendamaian di Perjanjian Lama. Kristus digambarkan sebagai Imam Besar yang memasuki tempat yang kudus untuk mempersembahkan korban. Namun korban yang dibawa oleh Kristus bukan domba jantan atau lembu jantan melainkan diriNya sendiri.[50]  Herbert Wolf menjelaskan demikian, “Kebanyakan ayat Perjanjian Baru yang membandingkan antara Hari Raya Pendamaian dengan kematian Kristus menekankan tersediaNya jalan masuk ke Tempat Mahakudus. Pada waktu Kristus mati, tabir di Bait Suci terbelah dua (Matius 27:51), dan Kristus sebagai Imam Besar kita ‘masuk satu kali untuk selama-lamanya ke dalam tempat yang kudus ... dengan membawa darahNya sendiri’ (Ibrani 9:12)”.[51] Dengan demikian sebagai Imam Besar, Kristus melakukan pendamaian sebagai pengantara. Rasul Paulus menjelaskan pekerjaan pengantaraan Kristus dalam pendamaian itu demikian, “Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diriNya” (2 Korintus 5:18a). Kristus ditunjuk sebagai Imam Besar yang telah menjadi korban pendamaian bagi dosa (Ibrani 2:17; 9:15;12:24).[52]
3.   Pencurahan Darah.  Aspek korban dari kematian Kristus terlihat dari beberapa ayat referensi yang berbicara tentang darahNya. Allah telah membuat Kristus menjadi jalan pendamaian melalui darahNya (Roma 3:25); kita dibenarkan oleh darahNya (Roma 5:9); Kita memiliki penebusan melalui darahNya (Efesus 1:7); Kita telah didekatkan kepada Allah oleh darah Kristus (Efesus 2:13); kita memiliki damai melalui darah yang dicurahkan di salib (Kolose 1:20).[53] Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Penulis Kitab Ibrani yang menyatakan bahwa “tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan (Ibrani 9:22; Bandingkan Matius 26:26-29; Yohanes 19:34-35; 1 Yohanes 1:7).  Kevin J. Conner dan Ken Malmin mengatakan, “Darah Yesus yang berharga dan yang tidak mungkin bercacat adalah darah Perjanjian Baru (Wahyu 12:11; Ibrani 9). Semua darah korban perjanjian sebelumnya menunjuk pada darahNya. Darah Yesus menggenapi dan mengakhiri semua darah binatang korban. Darah Yesus adalah darah Perjanjian Kekal (Ibrani 13:20).”[54] 
4.   Peredaan Murka (Propisiasi). Paul Enns menjelaskan propisiasi sebagai berikut, “propisiasi berarti bahwa kematian Kristus secara penuh memuaskan semua tuntutan kebenaran Allah terhadap orang berdosa. Karena Allah adalah kudus dan benar, maka Ia tidak dapat mengabaikan dosa; melalui karya Yesus Kristus, Allah telah dipuaskan dan standar kebenaranNya telah dipenuhi”.[55]  Kata Ibrani yang dipakai untuk menjelaskan propisiasi adalah “khapar” yang berarti “menutupi”, merupakan kata yang menyangkut upacara menutupi dosa dalam Perjanjian Lama (Imamat 4:35; 10:17).[56] Sedangkan kata kerja Yunani “hilaskomai” artinya “untuk mempropisiasikan”, muncul dua kali di Perjanjian Baru (Lukas 18:13; Ibrani 2:7); Kata bendanya muncul tiga kali dalam Perjanjian Baru, yaitu “hilasmos” (1 Yohanes 2:2; 4:10) dan “hilasterion” di Roma 3:25).[57]
Kenyataan akan adanya murka Allah menimbulkan keharusan  untuk meredakan murka itu. Adanya murka Allah atas manusia ini dinyatakan dengan jelas di dalam Alkitab. Menurut Charles C. Ryrie, “Lebih dari dua puluh kata yang berlainan dan yang digunakan sebanyak kira-kira 580 kali menyatakan murka Allah dalam Perjanjian Lama (2 Raja-raja 13:3; 23:26; Ayub 21:20; Yeremia 21:12; Yeheskiel 8:18; 16:38; 23:25; 24:13). Disetiap tempat selalu dinyatakan bahwa dosa merupakan penyebab murka Allah”.[58] Masih menurut Ryrie, bahwa murka dalam Perjanjian Baru merupakan konsep dasar untuk menyatakan perlunya pendamaian. Perjanjian baru memakai kata yang terpenting, yaitu “orge” menyataan murka yang lebih tetap (Yohanes 3:36; Roma 1:18; Efesus 2:23; 1 Tesalonika 2:16; Wahyu 6:16); dan “thumos” menyatakan murka yang lebih bernafsu (Wahyu 14:10,19; 15:1,7; 16:1; 19:15). Kedua kata itu dengan jelas menyatakan permusuhan ilahi terhadap dosa secara pribadi.[59] Untuk meredakan murka ini bukan merupakan soal balas dendam melainkan soal keadilan, dan hal itu menuntut pengorbanan Anak Allah.[60]
Dengan demikian jelaslah bahwa propisiasi berhubungan dengan peredaan murka Allah. Karena Allah itu kudus, murkaNya ditujukan pada dan harus dialihkan supaya manusia dapat luput dari kehancuran kekal. Dan Allah menyediakan jalan keluar bagi dosa dengan mengutus Kristus sebagai pemenuhan tuntutan atas dosa-dosa manusia. AkibatNya, kematian Kristus memuaskan tuntutan Allah dan meredakan murka Allah. Kini, daripada meminta manusia melakukan sesuatu untuk mendapatkan perkenanNya, Allah justru meminta manusia untuk didamaikan denganNya melalui karya yang telah dituntaskan Kristus (2 Korintus 5:20). Rasul Yohanes menjelaskan bahwa peredaan murka ini bukan hanya bagi dosa orang-orang percaya, atau pilihan saja, tetapi juga bagi seluruh dunia ketika ia berkata, “Dan Ia adalah pendamaian untuk segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia” (1 Yohanes 2:2). Kata “pendamaian” dalam ayat ini adalah terjemahan dari kata Yunani “hilasmos”, yang dalam King James Version diterjemahkan dengan “propitiation”.[61]
5.   Penghapusan Kesalahan (Ekspiasi). Charles C. Ryrie menjelaskan, “Ekspiasi adalah penghapusan murka, dosa atau rasa bersalah seseorang. Ekspiasi berhubungan dengan perbaikan terhadap suatu kesalahan”.[62] Sementara propisiasi berhubungan dengan meredakan murka Allah, maka ekspiasi berhubungan dengan penghapusan kesalahan (dosa-dosa) manusia. Yohanes Pembaptis seperti yang dicatat oleh rasul Yohanes menyebut Yesus dengan gelar “Anak Domba Allah” (Yohanes 1:29,36). Pada sebutan pertama, gelar ini diperjelas dengan keterangan tambahan “yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29).[63]  Kata “menghapus” dalam ayat itu adalah terjemahan dari kata kerja Yunani “airôn” yang berarti “menanggung atau menyingkirkan”.[64]  Donald Guthrie menjelaskan, “kata kerja Yunani ho airôn, yang berarti ‘mengangkut’, juga ‘menghapus’. Pengertian yang paling logis yakni: perkataan menunjuk pada soal menebus dosa”.[65] Beberapa komentar tentang Yohanes 1:29 seperti berikut ini. Everret F. Harrison mengatakan, “Pelayanan Yohanes sendiri didasarkan pada kenyataan tentang dosa; pelayanan Kristus berkaitan dengan penghapusan dosa”.[66] Donald C. Stamps menjelaskan, “Melalui kematianNya, Yesus memungkinkan penghapusan kesalahan dan kuasa dosa dan membuka jalan kepada Allah bagi seluruh dunia”.[67]
6.   Korban Pengganti (Substitusi). Kematian Kristus disebut  sebagai korban pengganti. Kata Inggris “vicarious” berarti “dilaksanakan dengan cara mengadakan subsitusi (menggantikan)”.[68] Doktrin penggantian ini penting sebab berhubungan dengan pemuasan yang sempurna atas tuntutan kebenaran dari Allah yang kudus melalui pembayaran yang sempurna dari Kristus untuk dosa. Atas dasar inilah Allah dapat mendeklarasikan orang berdosa yang percaya sebagai orang yang benar dan menerima mereka dalam persekutuan tanpa ada kompromi dari pihakNya. Semua dosa orang percaya ditanggung oleh Kristus, yang sepenuhnya menebus mereka dan membayar untuk mereka melalui kematianNya.[69] Ada dua preposisi (kata depan) Yunani yang menekankan sifat korban pengganti dari kematian Kristus, yaitu : (1) preposisi “anti” yang mempunyai arti “persamaan, penukaran, atau pengganti”. Kata “anti” tidak pernah mempunyai arti yang lebih luas dari “demi” atau “atas nama”; (2) preposisi “huper” yang mempunyai arti “untuk kepentingan” dan juga kadangkala diberarti “pengganti”.[70] Contoh penggunaan preposisi “anti” terdapat dalam Matius 20:28; Markus 1045, sedang contoh penggunaan preposisi “huper” (Galatia 3:13; 1 Timotius 2:6; 2 Korintus 5:1; 1 Petrus 3:18).[71]  Ada lagi ayat Alkitab, selain yang disebutkan sebelumnya di atas, yang menekankan korban penggantian Kristus bagi manusia (Yesaya 53:5; 1 Petrus 2:24; 2 Korintus 5:21).
Dengan demikian yang dimaksud dengan korban penggantian (substitusi) adalah bahwa Kristus mati bagi orang berdosa dan atau kematianNya menggantikan orang berdosa menanggung hukuman yang seharusnya ditanggung oleh orang berdosa yang percaya kepadaNya. Kesalahan orang berdosa yang percaya diperhitungkan kepadaNya secara demikian sehingga Ia mewakili mereka menanggung hukuman mereka.[72]  Namun, ada orang yang mengganggap bahwa jika Kristus mati sebagai pengganti, tentu semua orang secara otomatis akan selamat. Ini merupakan pemikiran yang keliru. Mengapa? Karena kematian Kristus sebagai korban pengganti memiliki dua aspek, yaitu : (1) Kristus mati bagi orang berdosa (preposisi Yunani “huper”); dan (2) Kristus mati menggantikan orang berdosa yang percaya (preposisi Yunani “anti”). Aspek yang pertama menghubungan kematian Kristus dengan manfaatnya yang bersifat universal bagi orang-orang berdosa, sedangkan aspek yang kedua menghubungkan kematian Kristus sebagi pengganti orang berdosa yang percaya kepadaNya.[73] Jadi, Seperti kata Sir Robert Anderson, “bahwa Kristus mati bagi manfaat dari orang berdosa (huper) dan bukan sebagai ganti orang berdosa (anti) karena huper terutama selalu digunakan dalam pemberitaan Injil kepada mereka yang bukan orang-orang yang diselamatkan. Hanya setelah orang berdosa menerima dengan iman kematian Kristus bagi dirinya, barulah ia menerima aspek penggantian (anti) dari kematian Kristus itu”.[74]
7.   Penebusan. Kata penebusan bukanlah ajaran yang hanya khas Perjanjian Baru. Faktanya, pada KJV kata “redeem” (tebus) dengan berbagai variasinya muncul sebanyak 139 dalam Perjanjian Lama, dan hanya 22 kali dalam Perjanjian Baru.[75] Kata penebusan berasal dari kata Yunani “agorazo” yang berarti “membeli dari pasar”. Seringkali kata ini berhubungan dengan penjualan budak dipasar. Kata “agorazo” ini digunakan untuk menggambarkan orang percaya yang dibeli dari pasar budak dosa dan dibebaskan dari ikatan dosa. Harga pembayaran untuk kebebasan orang percaya dan pembebasan dari dosa adalah kematian Kristus (1 Korintus 6:20; 7:23; Wahyu 5:9; 14:3,4).[76]
Tiga kata Yunani lainnya untuk menjelaskan tentang penebusan adalah : (1) exagorazo, yang berarti “membayar harga, menebus, membeli dari pasar, mengambil alih dari kuasa pihak lain”. Kata ini digunakan dua kali behubungan dengan Kristus menebus atau melepaskan orang percaya dari kutuk dan kuasa hukum Taurat (Galatia 3:13; 4:5); (2) lutro, yang berarti “membebaskan melalui pembayaran tebusan”. Kata kerjanya muncul tiga kali dalam Lukas 24:21; Titus 2:14; 1 Petrus 1:18-19. Sedangkan kata benda “lutron” digunakan dua kali dalam Matius 20:28; Markus 10:45 (tebusan), dan kata benda “lutrosis digunakan tiga kali dalam Lukas 1:16; 2:38; Ibrani 9:12 (kelepasan); (3) apolutrosis, yang berarti “kelepasan yang terjadi karena pembayaran tebusan”. Digunakan sembilan kali berkenanan dengan penebusan dari dosa (Lukas 21:28; Roma 3:24; 1 Korintus 1:30; Efesus 1:7, 14; 3:30; Kolose 1:14; Ibrani 9:15).[77]  Jadi, Alkitab menunjukkan keadaan manusia yang pada dasarnya telah berada di bawah kuasa dosa, dan dari keadaan tersebut ia tidak berdaya membebaskan dirinya. Untuk membebaskan manusia, suatu tebusan dibayar. Kristus membayar tebusan yang diperlukan itu dengan kematianNya sendiri. 
8.   Pengampunan.  Paul Enns menjelaskan bahwa, “Pengampunan merupakan tindakan legal dari Allah dimana Ia mengangkat tuduhan-tuduhan yang diberikan kepada orang berdosa karena pemuasan atau penebusan yang tepat untuk dosa-dosa itu telah dilakukan”.[78] Dasar obyektif yang menjamin pengampunan  kepada semua orang percaya adalah pencurahan darah Kristus melalui kematianNya di kayu salib yang mendamaikan, karena “tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan (Ibrani 9:22).[79] Jadi kematian Kristus mengakibatkan pengampunan bagi orang berdosa. Allah tidak dapat mengampuni dosa tanpa pembayaran yang seharusnya. Kematian Kristus menyediakan alat yang sah secara hukum, sehingga Allah dapat mengampuni dosa.[80]
Pengampunan untuk selamanya menyelesaikan masalah dosa dalam hidup orang percaya, yaitu semua dosa yang telah lalu, sekarang dan dimasa yang akan datang (Kolose 2:13). Ada beberapa kata Yunani yang digunakan untuk menjelaskan pengampunan, yaitu : (1) charizomai, yang berarti “mengampuni berdasarkan anugerah”. Dalam Kolose 2:13 mendeklarasikan bahwa Allah telah “mengampuni (kharisamenos) segala pelanggaran kita”; (2) aphiem, yang berarti “melepaskan atau membebaskan” atau “menyuruh pergi”. Kata ini paling umum digunakan untuk pengampunan. Bentuk kata benda ini digunakan dalam Efesus 1:7 dimana kata itu menekankan dosa orang percaya yang telah diampuni atau disuruh pergi kerena kekayaan dari anugerah Allah yang dinyatakan dalam kematian Kristus. Pengampunan adalah sisi negatif dari keselamatan, sedangkan sisi positifnya adalah pembenaran (jastifikasi).[81]
9.   Pembenaran (Jastifikasi). Hasil lebih lanjut dari kematian Kristus adalah pembenaran bagi orang berdosa yang percaya. Pengampunan dan pembenaran, sekalipun merupakan dua ide yang terpisah, di dalam keselamatan yang dikemukakan Alkitab merupakan aspek positif dan aspek negatif dalam satu tindakan Allah membersihkan pendosa dari dosa-dosanya.[82] Pembenaran merupakan tindakan hukum Allah sebagai hakim yang mendeklarasikan orang berdosa yang percaya sebagai orang yang dibenarkan.[83] Rasul Paulus dalam Roma 5:1 mengatakan, “Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus”. Kata “dibenarkan” berasal dari kata Yunani “dikaiothentes“. Kata dasar “dikaioo”  memiliki baik aspek negatif maupun aspek positif. (1) Secara negatif hal itu berarti mengangkat dosa orang percaya; (2) Secara positif hal itu berarti menganugerahkan kebenaran Kristus atas orang percaya (Roma 3:24,28; 5:9; Galatia2:16).[84]  Atau seperti kata Charles F. Beker, bahwa pembenaran : (1) dilihat dari aspek negatif berarti penghapusan terhadap hukuman atas dosa. Pembenaran bukan menyatakan seseorang tidak bersalah; pembenaran menyatakan bahwa tuntutan hukum telah dipenuhi sehingga si pendosa yang percaya pada Kristus kini bebas dari hukuman (Roma 8:1); dan (2) dilihat dari aspek positif pembenaran berarti pemulihan ke dalam keadaan berkenan kepada Allah. Pembenaran berarti tindakan Allah yang menyatakan orang percaya benar dalam kapasitasNya sebagai Allah yang berkuasa, bukan berdasarkan keadaan bagaimanapun dari orang percaya, atau oleh apapun yang telah dicapai oleh orang percaya itu,  tetapi semata-mata oleh iman pada diri dan karya Kristus. Pembenaran adalah tindakan yudisial yang menempatkan orang percaya pada posisi dimana Ia diperlakukan seakan-akan ia memang secara pribadi benar. Pembenaran bukan mengakibatkan dihasilkannya kebenaran manusia, tetapi kebenaran Allah bagi semua orang yang percaya (Roma 3:22).[85]
Jadi, pembenaran adalah anugerah yang diberikan Allah kepada orang berdosa yang percaya (Roma 3:24). Pembenaran ini diterima pada saat seseorang memiliki iman kepada Kristus (Roma 5:1,17-18). Dasar dari pembenaran adalah kematian Kristus (Roma 5:9), terpisah dari pekerjaan manusia dalam bentuk apapun (Roma 4:5). Alat untuk menerima pembenaran adalah iman (Roma 5:1). Melalui pembenaran, Allah mempertahankan integritasNya dan standarNya, dan bersamaan dengan itu Ia dapat masuk dalam persekutuan dengan orang berdosa yang percaya, karena kebenaran Kristus telah diperhitungkan kepada mereka”.[86] Charles F. Beker mengatakan, “Karena itu kami menyimpulkan dengan yang ditunjukkan Paulus bahwa pembenaran dihadapan Allah adalah tindakan Ilahi yang di dalamnya Allah menyatakan bahwa seseorang sepenuhnya bebas dan dipulihkan berkenan kepadaNya oleh iman saja, tanpa pekerjaan atau usaha apapun dari manusia, atas dasar iman kepada kematian Kristus, dan bahwa keseluruhan pelaksanan tersebut seutuhnya disebabkan oleh anugerah Allah... Di dalam Kristus kita dijadikan orang benar Allah (2 Korintus 5:21)”[87]
DUA ASPEK PENDAMAIAN
Ketika membahas definisi pendamaian, sekilas saya telah menyinggung tentang dua aspek dari pendamaian itu. Paul Enns menyebutkan dua aspek dari rekonsiliasi (pendamaian), yaitu aspek obyektif dan aspek subyektif.  (1) Aspek obyektif dari rekonsiliasi adalah bahwa manusia telah didamaikan dengan Allah sebelum beriman dan manusia dinyatakan dapat diselamatkan (2 Korintus 5:18a, 19a). Ini disebut juga rekonsiliasi provisional. (2) Aspek subyektif dari rekonsiliasi adalah bahwa manusia didamaikan dengan Allah pada saat ia percaya (2 Korintus 5:18a, 19b). Ini disebut juga rekonsiliasi pengalaman (pribadi).[88] Aspek yang pertama dari rekonsiliasi tersebut bersifat universal dan berhubungan dengan penyediaan keselamatan, sedangkan aspek yang kedua bersifat individual dan berhubungan dengan penerimaan keselamatan secara pribadi. Charles F. Beker menyebut kedua aspek tersebut sebagai pendamaian searah dan pendamaian dua arah.[89]
1.   Pendamaian Searah (Aspek Obyektif Pendamaian).  Menurut Charles F. Beker, pendamaian searah merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan karya Allah yang telah dilakukan Kristus dalam mengubah hubungan dunia terhadap Allah. Dari sisi ini, semua rintangan dan hambatan yang terdapat pada jalan keselamatan telah disingkirkan Allah melalui kematian Kristus, sehingga manusia bisa merima keselamatan yang diberikan secara cuma-cuma. Dengan kata lain, pendamaian ini memampukan manusia untuk diselamatkan. Aspek ini disebut juga penyediaan keselamatan. Aspek penyediaan keselamatan ini berbeda dengan keselamatan pribadi. Kristus telah mendamaikan dunia kepada Allah, entah orang di dunia mau menerima pendamaian itu atau tidak. Fakta bahwa dunia telah didamaikan bukan berarti bahwa dunia telah diselamatkan. Kita tidak boleh mengacaukan istilah keselamatan dan pendamaian dengan menjadikan keduanya sinomim. [90]
Jadi ketika rasul Paulus mengatakan “Allah mendamaikan dunia dengan diriNya oleh Kristus” (2 Korintus 5:19). Makdsudnya ialah bahwa Kristus telah melakukan hal yang tidak dapat dilakukan oleh manusia, yaitu mati karena menanggung dosa-dosa manusia dan secara sempurna memenuhi tuntutan kebenaran Allah terhadap manusia berdosa.  Karya Kristus ini sepenuhnya mengubah status dunia di hadapan Allah. Karya tersebut tidak menyelamatkan dunia tetapi menyingkirkan semua penghalang. Sebab jika tidak demikian, akan tidak mungkin bagi kasih Allah menyelamatkan orang-orang berdosa yang dari sisi kekudusan dan keadilan Allah harus dihukum. Millard J. Erickson mengatakan, “Kematian Kristus cukup bernilai untuk menebus seluruh dunia. Kematian seorang manusia biasa hampir tidak cukup berharga untuk menutupi dosa-dosanya sendiri, apalagi untuk menutupi dosa seluruh umat manusia. Tetapi kematian Kristus tak ternilai harganya. Sebagai Allah, Yesus tidak perlu mati. Ketika Ia mati, Ia melakukan sesuatu yang tidak pernah akan dilakukan oleh Allah. Karena Dia tidak berdosa, Dia tidak perlu mati untuk menebus dosaNya. Karena Dia adalah oknum yang tidak terbatas yang tidak perlu mati, maka kematianNya bermanfaat untuk menebus dosa seluruh umat manusia”.[91]
2.   Pendamaian dua arah (Aspek Subyektif Pendamaian).  Menurut Charles F. Beker, pendamaian dua arah merupakan istilah yang digunakan untuk mengungkapkan  maksud bahwa kedua pihak yang bermusuhan secara nyata dibawa bersama ke dalam pendamaian penuh. Rasul Paulus mengatakan demikian, “dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (2 Korintus 5:20). Jika kematian Kristus itu sendiri telah menyebabkan terjadinya pendamaian sepenuhnya (dalam arti diselamatkan), maka tidak perlu lagi ada pemberitaan Injil, dan kita tidak perlu memanggil orang-orang untuk diselamatkan. Namun, karena fakta bahwa rasul Paulus mengharuskan orang-orang berdosa untuk memberi diri didamaikan dengan Allah, maka pendamaian itu seharusnya tidak disamakan dengan keselamatan. Sekali lagi, untuk lebih tegasnya, kita katakan pendamaian tidaklah sama dengan keselamatan, dan itu artinya didamaikannya dunia dengan Allah tidaklah sama dengan diselamatkan!  Berdasarkan fakta ini para pemberita Injil pergi keseluruh dunia untuk menyampaikan berita bahwa Kristus telah mati mendamaikan pendosa kepada Allah, dan para pemberitaa Injil ini dengan keyakinan memanggil para pendosa untuk memberi diri mereka didamaikan dengan Allah, dengan percaya kepada Kristus (Kisah Para Rasul 16:30-31; Markus 16:15-16). Jadi apek dua arah dari pendamaian adalah: pendamaian merupakan sesuatu yang Allah sediakan melalui kematian Kristus, tetapi manusia secara pribadi harus menerimanya untuk mendapatkan manfaat darinya.[92] 
Charles C. Ryrie juga menjelaskan hal yang sama mengenai pendamaian dua arah ini demikian, “Perlu adanya pendamaian (rekonsiliasi) terletak pada permusuhan Allah terhadap manusia berdosa. Allah telah mengambil inisiatif dan mendamaikan dunia dengan diriNya. Hal tersebut telah dilakukan oleh kematian Kristus, dan persyaratan ini telah mengubah keadaan dunia sehingga menjadi dapat diselamatkan dihadapan Allah. Namun meskipun dunia telah didamaikan, manusia harus didamaikan dengan cara mengubah keadaannya karena Kristus. Dan hanya dengan cara demikianlah, maka keadaannya dihadapan Allah diubah”.[93] Ryrie juga mengatakan, “Persyaratan Allah bagi pendamaian bersifat universal. Karena kematian Kristus, maka keadaan dunia diubah, sekarang manusia dapat diselamatkan. Tetapi hal itu sendiri tidak menyelamatkan satu manusia pun, sebab pelayanan pendamaian itu harus dilaksanakan dengan setia melalui pemberitaan Injil. Pada saat seseorang menjadi percaya, maka ia menerima pendamaian yang diberikan Allah di dalam kematian Kristus (2 Korintus 5:18-21). Dunia telah didamaikan, tetapi manusia perlu didamaikan. Pendamaian secara universal ini mengubah keadaan dunia dari tidak dapat diselamatkan menjadi dapat diselamatkan. Pendamaian secara pribadi melalui iman benar-benar membawa pendamaian itu dalam hidup orang yang bersangkutan dan mengubah keadaan orang itu dari tidak diselamatkan menjadi diselamatkan”.[94]
David K. Lowery menyimpulkan demikian, “kombinasi otoritas ilahi dan tanggung jawab manusia yang menjadi bagian dari ulasan Paulus tentang rencana keselamatan Allah juga merupakan karakteristik pernyataan-pernyataannya tentang rekonsiliasi. Allah telah bertindak untuk merekonsiliasi dunia (Roma 11:15; 2 Korintus 5:19), tetapi manusia pelu menerima pengalaman ini (Roma 5:11). Sebenarnya Paulus meringkas pesannya dalam frase ini, ‘berilah dirimu didamaikan dengan Allah’ (2 Korintus 5:20). Ketika Paulus sesekali berbicara tentang rencana keselamatan Allah dalam istilah-istilah universal, disini implikasi-implikasi universal juga menjadi bagian pembahasannya tentang rekonsiliasi. Dalam hal ini, dunia, suatu referensi untuk manusia pada umumnya, telah Allah rekonsilisi untuk diriNya sendiri. Apakah ini berarti semua orang diselamatkan? Tidak. Sebaliknya, jawabannya ialah bahwa Paulus percaya bahwa berkat-berkat pendamaian Kristus bersifat universal dalam jangkauannya. Tetapi berkat-berkat ini dialami hanya oleh orang-orang yang menerimanya dengan mempercayai Injil.”[95]
Evaluasi : Jika pendamaian yang dimaksud rasul Paulus dalam 2 Korintus 5:19 ini dianggap sinomin atau sama dengan keselamatan, maka kelihatannya hanya akan menghasilkan dua alternatif, yaitu : (1) kita dipaksa untuk menyimpulkan bahwa seluruh dunia yang didamaikan itu selamat yang berarti pendamaian universal. Ini sama dengan universalisme;[96] atau (2) bahwa kata “dunia” yang dimaksud hanya menunjuk pada orang-orang pilihan, dengan demikian, nilai dan manfaat dari pendamaian itu terbatas. Namun berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka kita harus menolak pandangan yang menyamakan pendamaian dengan keselamatan. Istilah pendamaian dipakai untuk menjelaskan tindakan Allah yang mengangkat penghalang antara Allah dan manusia karena dosa melalui Yesus Kristus supaya manusia memperoleh keselamatan (Roma 5:10-11; 2 Korintus 5:18-20; Efesus 2:16; Kolose 1:20-22), sedangkan istilah keselamatan dipakai untuk menyatakan tindakan Allah di dalam Kristus yang membebaskan manusia dari kematian kekal dengan memberikan hidup yang kekal kepada mereka yang percaya (Yohanes 3:16,17; Kisah Para Rasul 16:30-32; 1 Yohanes 5:11-13). TUJUAN YESUS KRISTUS : MENDAMAIKAN DUNIA DENGAN ALLAH.

[1] Erickson J. Millard., 2003. Teologi Kristen, Jilid 2. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 449-450.
[2] Ibid, hal. 450.
[3] Ferguson, B. Sinclair, David F. Wright, J.I. Packer., 1988. New Dictionary Of Theology. Jilid 1, diterjemahkan (2008), Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal 79.
[4] Conner J. Kevin., 2004. A Practical Guide to Christian Bilief. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 479-480.
[5] Beker, Charles. F., 1994. A Dispensasional Theology. Terjemahan, Penerbit Alkitab Anugerah: Jakarta, hal. 460.
[6] Ibid.
[7] Peter, George W., 2006. A Biblical Theology of Missions. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 180.
[8] Enos, I. Nyoman,. 2012. Penuntun Praktis Misiologi Modern. Penerbit Kalam Hidup: Bandung, hal. 23.
[9] Selain kata “apostello”, kata Yunani lainnya “pempo” juga diterjemahkan dengan “mengutus” muncul sebanyak 80 kali dalam Perjanjian Baru. Kedua kata ini dipakai untuk Kristus dan juga untuk para rasul. Ada perbedaan sedikit dalam penekanan dan kedalaman. Kata “pempo” lebih menekankan tindaan mengutus dan mengekpresikan hubungan antara pengutusan dengan yang diutus. Kata “apostello” selain mengandung gagasan tentang pengutusan yang berwibawa dengan satu misi, istilah ini juga mencakup maksud yang pasti dalam pengutusan tersebut (Peter, George W., 2006. A Biblical Theology of Missions. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 302-303).
[10] Peter, George W., A Biblical Theology of Missions, hal. 303.
[11] Zuck, Roy B, editor., 2011. A Biblical of Theology The New Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 219.
[12] Erickson J. Millard., Teologi Kristen, Jilid 2,, hal. 484.
[13] Enns, Paul., 2004. The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang, hal. 167.
[14] Enns, Paul., 2000. Approaching God. Jilid 2 Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang, hal. 124.
[15] Poespoprodjo W dan EK. T. Gilarso, 1999. Logika Ilmu Menalar. Penerbit Pustaka Grafika: Bandung, hal. 67.
[16] Arti etimologi disebut juga definisi etimologi, yaitu penjelasan tentang asal usul sebuah kata. Dengan kata lain, definisi etimologi berusaha membatasi pengertian sebuah kata dengan mengikuti jejak etimologi dan arti yang asli hingga arti yang sekarang. Sedangkan definisi uraian adalah definisi yang menerangkan sesuatu dengan menjelaskan satu demi satu ciri-ciri dan bagian-bagiannya. Definisi uraian merupakan istilah lain dari definisi formal, dan disebut juga definisi logis.
[17] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal. 167.
[18] Enns, Paul., Approaching God. Jilid 2, hal. 124.
[19] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 401.
[20] Conner J. Kevin., A Practical Guide to Christian Bilief, hal. 458.
[21] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, 459-461.
[22] Ibid, 459-461
[23] Ibid.
[24] Ibid, hal. 439.
[25] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal. 401.
[26] Ibid, hal. 401.
[27] Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 2, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, hal. 37.
[28] Ibid, hal. 40.
[29] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 362.
[30] Ibid.
[31] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 2, hal. 18-19.
[32] Ibid, hal. 19.
[33] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 462.
[34] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 2, hal. 38.
[35] Ibid, hal 38-39.
[36] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 462.
[37] Ladd, Geoge Eldon, 1999. Teologi Perjanjian Baru. Jilid 2, terjemahan Penerbit Kalam Hidup : Bandung, hal. 205.
[38] Enns, Paul., Approaching God. Jilid 2, hal. 124.
[39] Erickson J. Millard., Teologi Kristen, Jilid 2,, hal. 496.
[40] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 461-462.
[41] Zuck, Roy B, editor., A Biblical of Theology The New Testament,, hal. 309.
[42] Erickson J. Millard., Teologi Kristen, Jilid 2,, hal. 496.
[43] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 462.
[44] Ladd, Geoge Eldon., Teologi Perjanjian Baru. Jilid 2, hal. 170.
[45] Ibid, hal. 171.
[46] Conner J. Kevin., A Practical Guide to Christian Bilief, hal. 436.
[47] Ibid.
[48] Wolf, Herbert., 2004. Pengenalan Pentateukh. Terjemahan, penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 235.
[49] Ibid, hal. 243.
[50] Erickson J. Millard., Teologi Kristen, Jilid 2,, hal. 492.
[51] Wolf, Herbert., Pengenalan Pentateukh, hal. 245.
[52] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 144.
[53] Ladd, Geoge Eldon., Teologi Perjanjian Baru. Jilid 2, hal. 170-71.
[54] Conner, Kevin J. & Ken Malmin., 2004. Interpreting The Scriptures. Terjemahan Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 169-170.
[55] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 402.
[56] Ibid.
[57] Ibid.
[58] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 2, hal. 40.
[59] Ibid, hal. 41.
[60] Ibid
[61] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 471.
[62] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 2, hal. 40.
[63] Zuck, Roy B, editor., A Biblical of Theology The New Testament,, hal. 219.
[64] Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I. Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal. 479.
[65] Guthrie, Donald, dkk., 1982. Tafsiran Alkitab Masa Kini. Jilid 3. Terjemahan. Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta, hal. 269.
[66] Pfeiffer F. Charles & Everett F. Harrison., ed. 1962. The Wycliffe Bible Commentary. Volume 3. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas Malang, hal. 304.
[67] Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 1699.
[68] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 439.
[69] Ibid, hal. 285.
[70] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 2, hal. 33.
[71] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 400.
[72] Ibid, hal. 400.
[73] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 446.
[74] Ibid, hal. 446.
[75] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 451.
[76] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 400.
[77] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 453-455.
[78] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 403.
[79] Wolf, Herbert., Pengenalan Pentateukh, hal. 245.
[80]Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 403.
[81] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 403.
[82] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 568.
[83] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 286.
[84] Ibid.
[85] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 566.
[86] Ibid, hal. 404.
[87] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 578.
[88] Ibid, hal 401.
[89] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 462-263.
[90] Ibid.
[91] Erickson J. Millard., Teologi Kristen, Jilid 2,, hal. 481.
[92] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal 463-464.
[93] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 2, hal. 40.
[94] Ibid, hal. 39.
[95] Zuck, Roy B, editor., A Biblical of Theology The New Testament, hal. 309-304.
[96] Universalisme mengajarkan bahwa semua orang cepat atau lambat akan diselamatkan. Mereka menyatakan bahwa karena kasih karunia Tuhan maka semua orang akan diselamatkan meskipun semuanya tidak menyadari hal itu. Ajaran yang lebih baru dari universalisme mengajarkan bahwa semua orang saat ini diselamatkan,  bahkan tanpa mempercayai Yesus Kristus. Universalisme juga mengajarkan bahwa neraka dan penghukuman kekal tidak sesuai dengan sifat kasih dan kemahakuasaan Tuhan. Pandangan ini mengajarkan bahwa pada akhirnya semua orang akan diselamatkan. Pandangan dari universalisme klasik mengajarkan bahwa orang-orang yang telah hidup dengan tidak bertanggung jawab akan dihukum segera setelah kematian, tetapi tidak seorang pun akan dihukum secara kekal. Dengan kata lain, penghukuman tersebut bersifat sementara sambil menanti datangnya keselamatan. Sedangkan neo universalisme mengajarkan bawa semua orang saat ini diselamatkan, meskipun semuanya tidak menyadari hal itu. Saya menegaskan bahwa ajaran seperti itu adalah adalah dusta dari Iblis. Karena Alkitab mengajarkan (Yohanes 3:16; Kisah Para Rasul 4:12), bahwa keselamatan hanya melalui Yesus Kristus).